بِسْمِ اللّهِ الرَّحْمـَنِ الرَّحِيمِ


الَّذِينَ آمَنُواْ وَهَاجَرُواْ وَجَاهَدُواْ فِي سَبِيلِ اللّهِ بِأَمْوَالِهِمْ وَأَنفُسِهِمْ أَعْظَمُ دَرَجَةً عِندَ اللّهِ وَأُوْلَئِكَ هُمُ الْفَائِزُونَ


Sunday, 29 July 2012

apa semua bidah itu sesat?

apa semua bidah itu sesat...... 


 ini pertanyaan saudara kita.... 







 Menurut pendapat As Sayyid Muhammad bin Alawiy Al Maliki Al Hasani (Mufti Mekkah) dalam makalahnya yang berjudul "Haulal-Ihtifal Bil Maulidin Nabawiyyisy Syarif" artinya "Sekitar Peringatan Maulid Nabi Yang Mulia' bahwa menurut ulama, bid'ah itu dibagi menjadi lima bagian yaitu: 1. Bid'ah wajib: Seperti menyanggah orang yang menyelewengkan agama, dan belajar bahasa Arab, khususnya ilmu Nahwu. 2. Bid'ah mandub/boleh: Seperti membentuk ikatan persatuan kaum muslimin, mengadakan sekolah-sekolah, mengumandangkan adzan di atas menara dan memakai pengeras suara, berbuat kebajikan yang pada masa pertumbuhan Islam belum pernah dilakukan orang. 3. Bid'ah makruh: menghias masjid-masjid dengan hiasan-hiasan yang tidak pada tempatnya, mendekorasi kitab-kitab Al Quran dengan lukisan- lukisan dan gambar-gambar yang tidak semestinya. 4. Bid'ah mubah: Seperti menggunakan saringan (ayakan), makan dengan sendok dan garpu dll. 5. Bid'ah haram: Semua perbuatan yang tidak sesuai dengan dalil-dalil umum hukum syariat dan tidak mengandung kemaslahatan yg dibenarkan oleh syariat. Bila semua bid'ah dholalah atau haram, maka sebagian amalan-amalan para sahabat serta ulama-ulama yang akan saya uraikan dibawah ini, yang mana oleh Rasul saw tidak dijalankan atau diperintahkan, semuanya dhalalah/haram. Umpamanya: Bila semua bid'ah haram maka pengumpulan ayat-ayat Al Qur'an, penulisannya serta pembukuannya (kodifikasinya) sebagai Mush- haf (Kitab) yang dilakukan oleh Abubakar, Umar bin Khattab dan Zaid bin Tsabit ra adalah haram. Padahal tujuan mereka adalah untuk menyelamatkan dan melestarikan keutuhan dan keautentikan ayat-ayat Allah. Mereka khawatir kemungkinan adanya ayat al Quran yang hilang karena adanya orang-orang yang menghafalnya meninggal dunia. Bila semua bid'ah haram maka perbuatan khalifah Umar bin Khattab ra yang men-jama'ahkan kaum muslimin dalam sholat tarawih berma'mum pada seorang imam adalah haram. Bahkan ketika itu beliau berkata: "Bid'ah ini sungguh nikmat". Bila semua bid'ah haram maka adanya pemberian titel-titel doktor atau drs. pada universitas islam adalah haram karena pada zaman Rasul saw cukup banyak sahabat-sahabat yang pandai belajar ilmu agama, tapi tak ada satupun dari mereka yang diberi titel-titel dibelakang namanya. Bila semua bid'ah haram maka mengumandangkan adzan dengan pengeras suara, membangun rumah- rumah sakit, rumah anak yatim piatu, membangun penjara untuk menghukum orang yang bersalah dll. adalah haram. Dan masih banyak lagi contoh-contoh bid'ah/ masalah-masalah baru seperti: peringatan hari kemerdekaan, halal bi halal, peringatan hari ulang tahun berdirinya satu negara atau pabrik dll, yang mana ini semua tidak pernah dilakukan pada masa hidup Rasullallah saw serta para pendahulu kita dimasa lampau. Sesungguhnya masalah yang baru tersebut walaupun tidak pernah dijalankan pada masa Nabi saw serta para pendahulu kita itu, tetapi selama masalah ini tidak menyalahi syariat islam, maka tidak berarti haram untuk dilakukan. Kalau semua masalah baru tersebut dianggap bid'ah dholalah (sesat) maka akan tertutuplah pintu ijtihad para ulama tapi alhamdulillah pikiran dan akidah sebagian besar ummat muslimin tidak sedangkal itu. Sebagaimana yang ditegaskan oleh Imam Syafii, Al Izz bin Abdis Salam, Imam Nawawi dan Ibnu Atsir ra dan para ulama lainnya bahwa bidah/ masalah baru yang diadakan ini bila tidak menyalahi atau menyimpang dari syariat, maka semua itu adalah mustahab/dibolehkan apalagi dalam hal kebajikan dan sejalan dengan dalil syara', maka itu adalah bagian dari agama. Amal kebajikan dan kebijaksanaan yang dilakukan para sahabat, kaum salaf sepeninggal Rasul saw itu diteliti oleh para ulama dan diuji dengan Kitabullah, Sunnah Rasul saw dan kaidah-kaidah hukum syariat. Bila setelah diuji ternyata baik maka prakarsa tersebut dinilai baik dan dapat diterima. Sebaliknya, bila setelah diuji ternyata buruk, maka hal tersebut dinilai buruk dan dipandang sebagai bid'ah tercela. Masalah yang telah dinilai baik dan dapat diterima ini disebut bid'ah hasanah. Karena sesuatu yang diperbuat atau dikerjakan oleh sahabat bukan atas perintah Allah dan RasulNya itu bisa disebut bid'ah tapi sebagai bid'ah hasanah. Ini dalam pandangan hukum syariat bukan "bid'ah" melainkan "sunnah mustanbathah" yakni sunnah yang ditetapkan berdasarkan "istinbath atau hasil ijtihad". Juga ditulis oleh Mufti Mekkah As Sayyid Muhammad bin Alawiy Al Maliki Al Hasani pada sebuah makalahnya yang berjudul. "Sekitar peringatan Maulid Nabi yang Mulia (Haulal ihtifal bil Mauliddin Nabawiyyisy Syarif) adalah sbb: Apa yang dikatakan oleh orang fanatik/extreem bahwa apa yang tidak pernah dilakukan oleh kaum salaf, tidaklah mempunyai dalil bahkan tiada dalil sama sekali bagi hal itu. Ini bisa kita jawab bahwa tiap orang yang mendalami ilmu Ushulud-din mengetahui bahwa Asy- Syari' (Rasulallah saw) menamai bid'ahtul hadyi (bid'ah dalam menentukan petunjuk pada kebenaran Allah & RasulNya) sunnah, dan menjanjikan pahala bagi pelakunya. Sabda Rasul saw yang diriwayatkan oleh Muslim dari Jarir: "Barang siapa di dalam Islam merintis jalan (sunnah) kebajikan, kemudian sepeninggalnya kebajikan itu diamalkan orang lain maka baginya ditetapkan pahala yang sama dengan pahala yang diberikan pada pihak yang mengamalkannya. Ganjaran mereka sedikitpun tidak dikurangi." Masih banyak lagi hadits yang serupa itu diriwayatkan oleh Muslim dari Abu Hurairah dan dari Ibnu Mas'ud ra. Firman Allah swt : "Hendaklah kalian berbuat kebaikan, agar kalian memperoleh keberuntungan". (Al Hajj:77) Meskipun hadits Rasul saw dari Jarir diatas tersebut berkaitan dengan soal shadaqah, namun kaidah pokok yang telah disepakati oleh para ulama menetapkan bahwa "Pengertian berdasarkan keumuman lafadz, bukan berdasarkan kekhususan sebab". Dalam bahasa Arab dan menurut peristilahan hukum syara', sunnah berarti jalan/ thariqah. Jadi kesimpulan hadits di atas adalah siapa yang berbuat kebaikan dan tidak berlawanan dengan agama maka perjalanan tersebut disebut sunnah hasanah/perjalanan yang baik. Sebaliknya jalan yang ditempuh tersebut buruk/ maksiat maka hal tersebut disebut sunnah sayyiah/jalan yg buruk. Jadi yang dimaksud sunnah pada hadits di atas tersebut bukan sebagaimana yang menjadi pengertian kaum awam yang mengartikannya, sebagaimana yang kita kenal dalam istilah Fiqih, yaitu sesuatu yang dikerjakan mendapat pahala dan jika ditinggalkan tidak mendatangkan dosa. Yg dimaksud adalah Sunnah Rasul saw yakni jalan yang beliau tempuh, baik dalam amal perbuatan atau perintah. Jadi sesuatu yang belum pernah diamalkan atau belum ada pada masa beliau itu harus dipertimbangkan dan dinilai apakah hal tersebut baik atau jelek atau apakah hal tersebut bertentangan/menyalahi agama atau tidak. Bila hal tersebut tidak menyalahi agama maka ia dapat diterima. Ar Raghib Al-Ashfahaniy dalam kitabnya Mufradatul Qur'an bab Sunan halaman 245 mengatakan: Sunan adalah jamak dari kata sunnah. Sunnah sesuatu berarti jalan sesuatu. Sunnah Rasullallah saw berarti jalan Rasul saw yaitu jalan yang ditempuh dan ditunjukkan oleh beliau sedangkan Sunnah Allah dapat diartikan "jalan hikmahNya" Contoh firman Allah swt: "Sunnatullah yang telah berlaku sejak dahulu. Kalian tidak akan menemukan perubahan pada Sunnatullah itu". (Al fatah: 23). Jadi cabang-cabang syariat hukum syariat sekalipun berlainan bentuknya tetapi tujuan dan maksudnya tidak berbeda dan berubah, yaitu membersihkan jiwa manusia dan mengantarkannya kepada keridhoan Allah swt. Begitulah Ar Raghib Al Ashfahaniy. Ibnu Taimiyyah dalam kitabnya "Iqtidha'us shirathil Mustaqim" berkata: Kata "sunnah" dalam hal itu berarti "adat kebiasaan" yaitu jalan atau cara yang berulang-ulang dilakukan oleh orang banyak baik mengenai soal-soal yang dianggap sebagai peribadatan atau tidak. Juga oleh Al Hafids di dalam Al Fath dalam tafsirnya mengenai makna kata "fithrah". Ia mengatakan bahwa beberapa riwayat hadits menggunakan kata "sunnah" sebagai pengganti kata "fitrah", dan bermakna "thariqah atau jalan". Juga Abu Hamid dan Al-Mawardiy juga mengartikan kata "sunnah" dengan "thariqah". Saya cantumkan di bawah ini beberapa bukti yang menunjukkan amal kebaikan yang dilakukan oleh para sahabat Nabi saw atas prakarsa mereka sendiri, bukan dari perintah Allah atau Nabi saw, dan bagaimana Rasul saw menanggapi masalah itu: Bukhori , Muslim dan Ahmad bin Hambal meriwayatkan sebuah hadits shohih dari Abu Hurairah : Rasulallah saw bertanya pada Bilal seusai sholat Shubuh: Hai Bilal, katakanlah padaku apa yang paling engkau harapkan dari amal yang telah engkau lakukan di dalam Islam, sebab aku mendengar suara terompahmu di dalam sorga. Bilal menjawab: Bagiku amal yang paling kuharapkan ialah aku selalu bersuci tiap saat (yakni selalu dalam keadaan berwudhu) siang- malam dan dalam keadaan suci seperti itulah aku menunaikan sholat. Haditz lain berasal dari Khabbab dalam Shahih Bukhori mengenai perbuatan Khabbab sholat 2 rakaat sebagai pernyataan sabar (bela sungkawa) di saat menghadapi orang muslim yang mati terbunuh. (Fathul Bari Jilid 8/313). Bukhori, Muslim dan lain- lain dalam "Kitabus Shalat" bab "Rabbna lakalhamdu". Haditz berasal dari Rifa'ah bin Rafi' yang menerangkan bahwa: Pada suatu hari aku sholat dibelakang Rasul saw. Ketika berdiri (I'tidal) sesudah ruku' beliau mengucapkan "sami'allahu liman hamidah". Salah seorang yang ma'mum menyusul ucapan beliau itu dengan berdoa: "Rabbana lakal hamdu katsiiran mubarakan fiihi" (Ya Tuhan kami, puji syukur sebanyak-banyaknya dan sebaik-baiknya atas limpahan keberkahanMu). Setelah sholat Rasul saw bertanya: 'Siapa tadi yang berdoa?' Orang yang bersangkutan menjawab: Aku, ya Rasulallah. Rasul saw berkata: "Aku melihat lebih dari 30 malaikat berpacu ingin mencatat doa itu lebih dulu". Al Hafidz dalam "Al Fath" mengatakan bahwa haditz tersebut menunjukkan diperbolehkannya orang berdoa atau berdzikir di waktu sholat selain dari yang sudah biasa, asalkan maknanya tidak berlawanan dengan kebiasaan yang telah ditentukan. Juga haditz itu memperbolehkan orang mengeraskan suara di waktu sholat dalam batas tidak menimbulkan keberisikan. Bukhori dalam "Kitabus Sholah" dari Anas bin Malik yang menceriterakan bahwa: "Beberapa orang sholat dimasjid Quba. Orang yang mengimami shalat itu setelah membaca surah Al Fatihah dan satu surah yang lain selalu menambah lagi dengan surat Al Ikhlas. Dan ini dilakukannya setiap rakaat. Setelah sholat para ma'mum menegurnya: Kenapa anda setelah Fatihah dan surah lainnya selalu menambah dengan surah Al Ikhlas? Sebenarnya anda toh bisa memilih membaca surah yang lain dan meninggalkan surah Al Ikhlas atau membaca surah Al Ikhlas tanpa membaca surah yang lain! Imam tersebut menjawab: Tidak, aku tidak mau meninggalkan surah Al Ikhlas, kalau kalian setuju aku mau mengimami kalian untuk seterusnya tapi kalau kalian tidak suka aku tidak mau mengimami kalian. Karena para ma'mum tidak melihat orang lain yang lebih baik dan afdhal dari imam tadi mereka tidak mau diimami oleh orang lain. Setiba di Madinah mereka menemui Rasul saw dan menceriterakan hal tersebut pada beliau. Kepada imam tersebut Rasul saw bertanya: 'Hai fulan, apa sesungguhnya yang membuatmu tidak mau menuruti permintaan teman- temanmu dan terus menerus membaca surat Al Ikhlas pada setiap rakaat? Imam tersebut menjawab: 'Ya Rasulallah, aku sangat mencintai Surah itu'. Beliau saw berkata: 'Kecintaanmu kepada Surah itu akan memasukkan dirimu ke dalam surga'. " Juga ada riwayat yang serupa tapi lain versi diriwayatkan oleh Bukhori dari Aisyah ra. Serta masih banyak hadits- hadits yang meriwatkan amal para sahabat atas dasar prakarsa sendiri sendiri. Yang mana semuanya tersebut diridhoi oleh Rasul saw dan beliau memberi kabar gembira pada mereka dan amal-amal tersebut tidak diperintah atau dianjurkan oleh Rasul saw sebelum atau sesudahnya. Padahal kalau kita teliti hadits-hadits di atas tersebut semuanya berkaitan dengan masalah sholat yaitu suatu ibadah pokok dan terpenting dalam Islam. Sebagaimana Rasul saw telah bersabda: "Hendaklah kamu sholat sebagaimana kalian melihat aku sholat" Sekalipun demikian beliau saw dapat membenarkan dan meridhoi tambahan- tambahan tertentu yang berupa doa dan bacaan surah. Karena beliau memandang doa dan bacaan surah tersebut di atas tidak keluar dari batas batas yang telah ditentukan oleh syariat. Yang lebih heran lagi ada orang yang menganggap doa qunut waktu sholat shubuh sebagai bid'ah. Padahal doa tersebut berasal dari Rasul saw sendiri (diriwayatkan oleh Anas bin Malik dan beberapa orang sahabat lainnya). Bagaimana mungkin doa qunut yang berasal dari Rasulallah saw tersebut dikatakan bid'ah sedangkan tambahan tambahan kalimat dalam sholat (i'tidal) dan bacaan-bacaan lainnya dalam sholat yang telah kita sebut di atas atas prakarsa sahabat sendiri tidak dipersalahkan oleh Nabi saw malah diridhoi dan diberi kabar gembira bagi yang membacanya? Renungkanlah! Contoh di atas tersebut adalah sebagian kecil saja yang saya ungkapkan disini, sebenarnya masih banyak lagi riwayat haditz shohih tentang perbuatan-perbuatan para sahabat dari prakarsa dan ijtihadnya sendiri yang tidak diperintah atau dianjurkan oleh Rasul saw. Karena semua itu bertujuan baik maka oleh Nabi saw diridhoi dan mereka diberi kabar gembira. Perbuatan- perbuatan sahabat tersebut dalam pandangan syariat bukan bid'ah melainkan sunnah mustanbathah yakni "sunnah" yang ditetapkan berdasarkan istinbath atau hasil ijtihad. Dari sini kita bisa ambil kesimpulan bahwa semua bentuk amal-amal baik, baik itu dijalankan atau tidak pada masa Rasul saw atau masa dahulu setelah Nabi saw, yang mempunyai tujuan mendekatkan diri untuk mendapat ridho Allah swt dan untuk mengingatkan (dzikir) kita semua pada Allah serta RasulNya itu adalah bagian dari agama dan dapat diterima. Sebagaimana hadits Rasul saw : "Sesungguhnya segala perbuatan tergantung kepada niat, dan setiap manusia akan mendapat sekadar apa yang diniatkan, siapa yang hijrahnya karena Allah dan Rasul, hijrahnya itu adalah karena Allah dan Rasul (berhasil),....sampai akhir hadits "(Bukhori). Hanya orang-orang yang egois, fanatik dan mau menangnya sendiri sajalah yang mengingkari hal tersebut. Biasanya orang- orang yang mengingkari tersebut mengambil dalil dari hadits Rasul saw sebagai berikut: "Setiap yang diada-adakan (muhdatsah) adalah bid'ah dan setiap bid'ah adalah sesat". Juga hadits Nabi saw : "Barangsiapa yang di dalam agama kami mengadakan sesuatu yang tidak dari agama ia tertolak". Hadits-hadits itu oleh mereka dipandang sebagai pengkhususan hadits "Kullu bid'atin dhalalah" yang bersifat umum, karena terdapat penegasan dalam hadits tersebut, yang tidak dari agama ia tertolak, jadi yang dimaksud dholalah. Dan dengan dalil hadits tersebut mereka menetapkan apa saja yang terjadi setelah zaman Rasul saw adalah bid'ah dholalah. Mereka tidak memandang apakah hal yang baru itu baik dan termasuk yang dikehendaki oleh agama atau tidak. Mereka juga tak mau mengerti bahwa upaya memperbanyak kebajikan adalah kebajikan. Jika ilmu agama sedangkal itu orang tidak perlu jerih payah memperoleh kebajikan. Hadits diatas yang mengatakan, mengada- adakan sesuatu, itu adalah masalah pokok-pokok agama yang telah ditetapkan oleh Allah dan RasulNya. Itulah yang tidak boleh dirubah/ ditambahi. Saya ambil perumpamaan yang mudah saja, ada orang mengatakan bahwa sholat wajib itu setiap harinya 6 kali, padahal agama mengatakan 5 kali sehari. Atau orang yang sanggup/kuat puasa wajib pada bulan ramadhan mengatakan bahwa kita tidak perlu puasa pada bulan tersebut tapi bisa diganti dengan puasa pada bulan Rajab atau lainnya. Inilah yang dinamakan menambahi atau mengada-adakan agama. Jadi bukan masalah- masalah nafilah, sunnah atau lainnya yang tidak termasuk pokok agama. Telitilah isi hadits Qudsi yang diriwayatkan Bukhori dari Abu Hurairah dibawah ini: "...HambaKu yang mendekatkan diri kepadaku dengan sesuatu yang lebih Ku sukai daripada yang telah Ku wajibkan kepadanya, dan selagi hambaKu mendekatkan diri kepadaKu dengan nawafil (amalan- amalan atau sholat sunnah) sehingga Aku mencintainya, maka jika Aku telah mencintainya, Akulah yang menjadi pendengarannya dan dengan itu ia mendengar, Akulah yang menjadi penglihatannya dan dengan itu ia melihat, dan Aku pun menjadi tangannya dengan itu ia memukul (musuh), dan Aku juga menjadi kakinya dan dengan itu ia berjalan. Bila ia mohon kepada Ku itu pasti Kuberi dan bila ia mohon perlindungan kepada Ku ia past Ku lindungi". Disamping itu mereka juga lupa yang disebut "agama" itu bukan hanya masalah peribadatan saja. Allah swt menetapkan agama islam bagi ummat manusia mencakup semua perilaku dan segi kehidupan manusia. Yang kesemuanya ini bisa dimasuki bid'ah baik yang hasanah maupun yang sayyiah. Sebenarnya masih banyak lagi tulisan-tulisan para ulama yang ingin saya cantumkam disini tapi insya Allah sebagian ini saja bisa membuka hati kita masing- masing agar tidak mencela, mengafirkan dan sebagainya pada saudara-saudara muslim kita sendiri. Semoga kita semua diberi hidayah dan taufiq oleh Allah swt. Amin "Allahumma inii a'uudzubika an usyrika bika wa anaa a'lamu wastagfiruka limaa la'alamu = Ya Allah sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu dari menyekutukan Engkau sedangkan aku mengetahui, dan aku memohon ampun kepada-Mu terhadap apa-apa yang tidak aku ketahui"

No comments:

Post a Comment

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Fokus

Fardul Muslim > Baitul Muslim > Mujtamak Muslim > Daulah Islamiah > Khilafah Islamiah